Mengkaji Kebijakan Open Access, Demi Kemaslahan Bersama
Oleh :
FERI YULIANSYAH, ST, MT
Lagi, Rencana pemerintah untuk melaksanakan aturan pemisahan fungsi
transporter dan trader (unbundling) serta Pemanfaatan bersama (open
access) pipa
pada bisnis gas bumi kembali tertunda. Hal ini karena mendapat penolakan dari
berbagai pihak, karena dicurigai hanya menguntungkan segelintir kelompok dan
kepentingan tertentu (trader & broker gas), dan mengancam peran strategis PT
Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). Kebijakan ini juga dinilai mengancam
kelangsungan pembangunan infrastruktur gas bumi di Indonesia dan berisiko
menaikkan harga.
Untuk kesekian kalinya, rencana
pemerintah untuk melaksanakan ketentuan Peraturan Menteri ESDM No. 19 tahun
2009 tentang kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa, pada 1 November 2013, guna meningkatkan
pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri dengan melakukan kebijakan unbundling
dan open access pipa pada bisnis gas bumi harus
kembali tertunda, karena masih terjadi pro dan kontra pada rencana pelaksanaan
peraturan tersebut. Perdebatan mengenai Pro dan kontra mengenai penerapan kebijakan open
access infrastruktur pipa gas nasional kembali menguat dalam beberapa
hari yang lalu, walaupun sebetulnya sudah sejak lama terjadi dan kemarin
menguat kembali karena mendekati deadline
yang ditetapkan.
Bagi yang setuju,
kebijakan unbundling dan open
access diyakini
akan meningkatkan dan menjamin ketersediaan jumlah pasokan gas (gas supply) dan membuat harga gas
menjadi lebih kompetitif, dalam upaya menopang Kebijakan Energi Nasional 2025,
yang dilaksanakan melalui upaya konversi energi dari Bahan Bakar Minyak ke Gas
Bumi. Bagi yang kontra, kebijakan ini dinilai akan mengebiri dan mengancam
peran strategis PGN dalam bisnis gas dan hanya menguntungkan segelintir pihak,
terutama broker gas, yang dikhawatirkan akan berdampak negatif dan menggangu kelangsungan
pembangunan infrastruktur gas bumi di Indonesia. Kebijakan ini juga dianggap berisiko
terhadap kenaikan harga gas pada end user.
Jika perseturuan ini awalnya lebih kental beraroma persaingan antara dua
perusahaan energi plat merah yaitu PGN & Pertamina - dimana PGN sebagai
pihak yang menolak keras kebijakan ini sementara pertamina mendukung, saat ini
pro dan kontra telah melibatkan entitas publik yang lebih luas. Mungkin Sebagian
masyarakat masih bertanya-tanya dan heran, mengapa perdebatan pro dan kontra dua
saudara sekandung (baca : sama-sama BUMN) dalam kebijakan ini semakin berlarut,
dan malah meluas melibatkan berbagai entitas publik lainnya. Dalam hal ini,
penulis mencoba merangkum permasalahan tersebut dalam beberapa catatan berikut
:
Pertama, Regulasi yang
bermasalah. Menurut penulis, Permen ESDM No. 19 tahun 2009 yang mengatur kebijakan
unbundling
dan open access masih menyisakan perdebatan
mengenai batasan. Apakah kebijakan ini juga akan diterapkan bagi investasi
sebelum Peraturan & UU migas diterbitkan atau berlaku surut. Menurut
Direktur Gas Bumi Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumu (BPH Migas), Umi
Asngadah, “Peraturan ini berlaku surut dan mengikat”. Memang jika dibaca
peraturan tersebut, sifatnya berlaku surut, dalam artian berlaku juga bagi pipa
yang dibangun sebelum peraturan diterbitkan. Inilah yang menurut penulis
menjadi titik awal tarik ulur dan pro kontra kebijakan unbundling dan open access.
Dari kajian pasal per pasar peraturan dalam pemisahan fungsi pengangkut dan
niaga (unbundling), terjadi tumpang
tindih dan multitafsir, yaitu pada pasal 19 dan pasal 29. Dari segi teknis
pelaksaan pemanfaatan pipa bersama (open
access), yang mengikat juga pada pipa existing,
yang dibangun sebelum peraturan terbit, tentunya lebih bermasalah lagi.
Memang, tujuannya baik,
untuk mengoptimalkan pemanfaatan seluruh infrastruktur pipa yang dibangun guna
meningkatkan dan menjamin ketersediaan jumlah pasokan gas bagi konsumen. Namun
tentunya tidak semudah itu untuk menerima bagi pihak yang sejak awal
berinvestasi pipa tidak merencanakan atau tidak menduga bahwa investasi
infrastruktur pipa yang dibangunnya akan digunakan untuk kebutuhan bersama. Walaupun
itu bernama BUMN. Karena setiap BUMN mengemban tugas dan dituntut untuk
menghasilkan profit. Apalagi saat ini, BUMN tersebut telah Go Public, dalam hal ini adalah PT. Perusahaan Gas Negara, Tbk
(PGN). Apalagi sejak awal, skema operasi bisnis PGN adalah downstream (sektor hilir). Tentunya, semua investasi pipa (pipeline) yang dibangun hingga ribuan
kilometer dikalkulasikan dari awal untuk penggunaan sendiri dimana investasi
yang besar disubsidi atau dikonversikan pada hasil penjualan gas (subsidi
silang), dan tidak merencanakan untuk disewakan kepada pihak lainnya, yang
notabene adalah kompetitor PGN.
Kondisi ini tentunya akan
berbeda dengan PT. Pertamina Gas (Pertagas), walaupun secara business line saat ini sama dengan PGN. Pertagas
dibangun dan menjalankan operatorship
pipeline dari perusahaan induknya (Pertamina), dimana pola investasi
bisnisnya adalah upstream (sektor
hulu), yang biaya investasinya bisa dimasukan dalam cost recovery. Inilah mengapa PGN sangat menolak keras jika kebijakan
open access pipa yang telah ada
sebelumnya (existing), walaupun tidak
dapat dipungkiri pula, terdapat beberapa jalur pipa PGN yang masih belum/tidak terutilisasi secara penuh. Namun
tentunya PGN berupaya mempertahankan jalur pipa yang telah dibangunnya, dengan
harapan (asumsi yang dipakai pada saat investasi), nantinya kapasitas pipa yang
belum terisi (idle capacity) tersebut
akan diutilisasikan secara berangsur-angsur (gradual)
sesuai dengan rencana-rencana pengembangan para KKKS (Kontraktor Migas) disisi upstream, apabila PGN mendapatkan slot
pasokan gas. Jadi, dengan mereka memiliki aset infrastruktur pipa, posisi tawar
PGN untuk membeli gas akan sangat kuat. Apalagi saat ini PGN menguasai sekitar
80% jalur pipa distribusi gas, dan sisa 20%-nya dimiliki oleh Pertamina. Sisi
jelek dari kondisi ini memang adalah aroma Monopoli Niaga gas yang sangat
kental.
Kedua, Pembenahan tata niaga gas
nasional. Tidak dapat dipungkiri, beberapa kelompok mencurigai bahwa kebijakan unbundling dan open access ini ditengarai hanya akan menguntungkan para trader gas. Dengan pemahaman bahwa penerapan open
access membuat para trader gas
dapat beramai-ramai menggunakan pipa gas PGN dan menjual gas mereka kepada para
pelanggan PGN, dengan hanya membayar toll
fee. PGN
akan dirugikan. Ini pula yang menjadi
pertanyaan berbagai pihak, bagaimana bisa ada banyak perusahaan trader gas yang tidak memiliki
infrastruktur dan sumber gas yang kontinyu. Yang hanya membeli gas dari
produsen di hulu, menggunakan infrastruktur pihak lain, dan menjualnya kepada end user di hilir. Data dari reforminer
institute menunjukan terdapat lebih dari 60 perusahaan niaga gas di Indonesia,
yang lebih dari 90%-nya tidak memiliki infrastruktur. Inilah yang menjadi
kekhawatiran berbagai pihak yang tidak setuju dengan penerapan open access tersebut, karena keuntungan
yang tinggi justru hanya dinikmati oleh para broker tersebut. Semestinya
pemerintah menerapkan dua syarat ketika swasta ingin berbisnis gas. Syarat pertama,
mereka harus memiliki infrastruktur, dan yang kedua, pihak swasta tersebut
harus memiliki pasokan gas di hulu yang berkesinambungan, karena sejatinya yang
melakukan penjualan gas kepada konsumen adalah perusahaan yang memiliki gas,
seperti Pertamina, Medco Energy, ConocoPhillip atau Chevron. Bukan para trader yang
memiliki izin niaga tidak berfasilitas, sehingga penerapan kebijakan open
access tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang bersifat profit taking semata. Ini juga akan meminimalisir resiko kenaikan
harga gas.
Ketiga, Jaminan
Ketersediaan Gas untuk kebutuhan Dalam Negeri (Domestik Market Obligation). Ini menjadi
penting mengingat selama ini sering terjadi kekurangan pasokan gas untuk
kebutuhan industri dalam negeri, karena sebagian besar gas yang dihasilkan
diekspor keluar negeri. Jadilah seperti saat ini, dimana alokasi gas bumi bagi Industri masih kalah
dibandingkan dengan lifting oil, pupuk, dan listrik. Padahal multiplier effect dari penggunaan gas
bumi bagi industri sangatlah penting, baik secara sosial ekonomi dan
kontribusinya bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini juga akan menjadi ancaman bagi
perkembangan industri di Sumatera Selatan (kawasan tanjung api-api) karena
minimnya alokasi pasokan gas untuk kebutuhan domestik. Hal ini memang masih debatable prioritas-nya. apakah
pembangunan infrastruktur pipa terlebih dahulu atau kepastian pasokan gas untuk
industri domestik. Idealnya, sembari menambah ketersediaan pasokan gas untuk
dalam negeri, pelaku usaha niaga gas diharapkan membangun infrastruktur gas dan
jaringan transmisi gas diseluruh wilayah Indonesia.
Keempat, Jaminan
Kelangsungan investasi Infrastruktur gas. Setelah adanya kepastian prioritas
pasokan gas untuk indutri dalam negeri, tentunya seluruh kebutuhan gas
untuk industri sebenarnya bisa terpenuhi. Namun, keterbatasan infrastruktur
pipa gas membuat sumber gas yang cukup besar, misalnya Lapangan Tangguh di
Papua, tidak bisa dioptimalkan untuk memenuhi pasokan gas domestik, terutama
untuk kebutuhan industri. Untuk itulah sangat diperlukan adanya kepastian hukum
untuk menjamin kelangsungan investasi pembangunan infrastruktur pipa gas open access, dan juga menjamin masa
pengembalian investasi (rate of return
investment). Kalaupun nanti dibentuk konsorsium ataupun anak usaha baru
BUMN yang membangunan dan mengelola pipa
open access, adalah penting untuk menjamin kelangsungan investasi yang
tidak sedikit tersebut. Ibarat investasi pembangunan jalan tol yang
menguntungkan berbagai pihak yang berkepentingan.
Untuk itulah,
dalam kesempatan ini penulis mencoba menyarankan kepada pemerintah untuk
mengkaji ulang aturan mengenai kebijakan unbundling
dan open access dengan merevisi
aturan teknis pada permen ESDM tersebut, karena sejatinya yang dibutuhkan
industri nasional saat ini sangatlah sederhana yaitu (jaminan) ketersediaan gas
dengan harga terjangkau. Dan Indonesia pasti bisa mewujudkan hal tersebut.
Pertama, Regulasi yang
bermasalah. Menurut penulis, Permen ESDM No. 19 tahun 2009 yang mengatur kebijakan
unbundling
dan open access masih menyisakan perdebatan
mengenai batasan. Apakah kebijakan ini juga akan diterapkan bagi investasi
sebelum Peraturan & UU migas diterbitkan atau berlaku surut. Menurut
Direktur Gas Bumi Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumu (BPH Migas), Umi
Asngadah, “Peraturan ini berlaku surut dan mengikat”. Memang jika dibaca
peraturan tersebut, sifatnya berlaku surut, dalam artian berlaku juga bagi pipa
yang dibangun sebelum peraturan diterbitkan. Inilah yang menurut penulis
menjadi titik awal tarik ulur dan pro kontra kebijakan unbundling dan open access.
Dari kajian pasal per pasar peraturan dalam pemisahan fungsi pengangkut dan
niaga (unbundling), terjadi tumpang
tindih dan multitafsir, yaitu pada pasal 19 dan pasal 29. Dari segi teknis
pelaksaan pemanfaatan pipa bersama (open
access), yang mengikat juga pada pipa existing,
yang dibangun sebelum peraturan terbit, tentunya lebih bermasalah lagi.
Untuk itulah,
dalam kesempatan ini penulis mencoba menyarankan kepada pemerintah untuk
mengkaji ulang aturan mengenai kebijakan unbundling
dan open access dengan merevisi
aturan teknis pada permen ESDM tersebut, karena sejatinya yang dibutuhkan
industri nasional saat ini sangatlah sederhana yaitu (jaminan) ketersediaan gas
dengan harga terjangkau. Dan Indonesia pasti bisa mewujudkan hal tersebut.
Comments
Post a Comment