Kenaikan Harga Elpiji, untuk kesejahteraan rakyat yang lebih besar

Oleh : FERI YULIANSYAH, ST, MT
Pemerhati bidang Energi dan Sumber Daya Mineral.
  
Setelah mendapat desakan dari berbagai pihak, akhirnya Pemerintah RI, melalui PT. Pertamina (Persero) menurunkan nominal kenaikan harga elpiji tabung 12 kg. Semula naik Rp 3.950 per kg, namun Mulai Pukul 00.00 WIB, 7 januari 2014, kenaikan hanya Rp 1.000 per kg. Kebijakan yang seolah memihak rakyat namun masih akan menyisakan cerita pro-kontra pada episode selanjutnya dimasa mendatang.
 
Mengapa akan terjadi pro-kontra dimasa mendatang? Karena memang solusi yang diambil saat ini hanya solusi jangka pendek. Apalagi saat ini menjelang pemilu 2014, yang mana semua pun bisa memahami jika isu sekecil apapun akan sangat sensitif dan akan dengan mudah dipolitisasi untuk kepentingan tertentu atas nama rakyat. Dari yang semula naik Rp 3.950 per kg atau naik sekitar 68% dari harga semula yang Rp 5.850 per kg, kemudian direvisi hanya naik Rp 1.000 per kg atau sekitar 17%.  Pertanyaannya, apakah permasalahan akan selesai sampai disini? Tentu saja tidak. Ada baiknya kita mencoba merunut akar permasalahan ini dari awal, mengapa elpiji tabung 12 kg harus naik.
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 26 tahun 2009 tentang penyediaan dan pendistribusian Elpiji, dijelaskan bahwa terdapat dua jenis pengguna Elpiji yaitu pengguna elpiji tertentu (subsidi) adalah pengguna elpiji kemasan tabung 3 kg yang harganya diatur dan ditetapkan Menteri/pemerintah, dan pengguna elpiji umum (non-subsidi) yaitu elpiji tabung 12 kg, 50 Kg, dan elpiji curah yang harganya ditetapkan sendiri oleh badan usaha yang bersangkutan, dalam hal ini Pertamina, sesuai mekanisme pasar, dengan berpedoman pada harga patokan elpiji, kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, kesinambungan penyediaan dan distribusi elpiji. Mengingat 100% saham Pertamina adalah milik pemerintah, maka setiap aksi korporasi baik menyangkut perubahan harga atau kebijakan lainnya harus meminta persetujuan pemerintah selaku pemegang saham mayoritas. Namun demikian, yang patut menjadi catatan disini bahwa perlakuan kebijakan harga elpiji tabung 3 kg dan tabung 12 kg merupakan satu hal yang berbeda. Pada elpiji tabung 12 kg, pemerintah tidak mengeluarkan uang sepeserpun (subsidi) untuk menutupi selisih harga terjadi. Maka seluruh kebijakan harga menyangkut elpiji tabung 12 kg, tabung 50 kg, dan elpiji curah sepenuhnya diserahkan kepada Pertamina sebagai Badan Usaha, dimana Pertamina pun dituntut untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya (sebagai pemasukan bagi pemerintah melalui deviden) bagi kesejahteraan rakyat.
Selanjutnya, tidak dapat dipungkiri faktor utama yang mendesak Pertamina untuk menaikan harga elpiji tabung 12 kg, adalah sebagai tindak lanjut atas rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang menyebutkan bahwa kerugian bisnis elpiji non-subsidi pada tahun 2011 hingga 2012 sebesar Rp 7,7 triliun sebagai kerugian negara. Rekomendasi itu tidak hanya sekali, tapi berkali-kali, dalam kurun waktu 2009 sampai dengan tahun 2013, karena kerugian yang terus berlanjut. Pada tahun terakhir 2013, Pertamina mengalami kerugian dalam penjualan gas 12 Kg  ini sebesar 5,7 triliun. Jika diakumulasikan dari tahun  2009 sampai 2013 ini Pertamina mengalami kerugian sekitar 22 triliun. Dapat dibayangkan, bagaimana rasanya jika lembaga negara atau Badan Usaha Milik Negara mendapat catatan “Merugikan Negara” dari BPK. Apalagi total nominal tidaklah kecil, 22 triliun dalam kurun waktu 5 tahun. kata Merugikan Negara adalah bahasa hukum yang bisa disamakan dengan Korupsi. Menakutkan tentunya. Terutama bagi pejabat Negara atau BUMN yang diberikan rekomendasi “Merugikan Negara” oleh BPK. Bisa dibayangkan, pejabat yang belum ditemukan kesalahannya oleh BPK saja bisa grogi jika diperiksa. Apalagi ini telah jelas-jelas ditemukan kesalahannya? Sudah diperingatkan 4 tahun berturut-turut dan dikatakan Merugikan negara?
Untuk menjawab rekomendasi BPK dan juga mencegah permasalahan hukum yang akan terjadi dikemudian hari (karena bisa saja sewaktu-waktu rekomendasi ini dibawa kepada penegak hukum, seperti Kejaksaan dan KPK). Tentunya tidak ada pilihan lain bagi Pertamina untuk mengikuti rekomendasi tersebut dengan menaikan harga elpiji 12 kg sesuai harga keekonomiannya, karena tidak ada satu pun payung hukum yang membolehkan pertamina menjual elpiji tabung 12 kg dibawah harga keekonomian. Karena elpiji tabung 12 kg bukanlah barang yang disubsidi oleh pemerintah. Jadi sangatlah wajar jika BPK menyalahkan pertamina atas kerugian Negara tersebut sebagai tindakan melawan hukum.
Sebagai catatan, saat ini, harga keekonomian elpiji adalah Rp 12.500 per kg, sementara harga jual elpiji non-subsidi kemasan 12 kg hanya Rp 5.850 per kg. Dalam hal ini, pertamina menanggung selisih antara harga keekonomian dan harga jual elpiji, sebelum kenaikan harga, mencapai Rp 6.650 per kg. Ini berarti Pertamina nombok harga kepada konsumen elpiji non subsidi. Nilai kerugian penjualan per kg itu belum termasuk ongkos angkut operasi elpiji dari terminal elpiji Pertamina (depot) ke instalasi pengisian ulang elpiji hingga didistribusikan kepada agen penjual elpiji. Ongkos angkut saat ini rata-rata sekitar Rp 900 per kg. Hal ini mengakibatkan Pertamina harus menanggung kerugian penjualan elpiji nonsubsidi 12 kg hingga triliun rupiah. Padahal elpiji ini tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah, yang jika kita menilik penggunanya memang banyak digunakan kelompok rumah tangga mampu dan untuk kegiatan usaha. Hal ini harus disadari oleh pengguna elpiji tabung 12 kg bahwa memang cepat atau lambat, kita harus menerima mecoba menerima kenaikan harga elpiji ini sesuai harga keekonomiannya. Tentunya akan terus ada kenaikan elpiji pada episode selanjutnya. Ini seiring dengan naiknya harga patokan elpiji setiap tahunnya seiring naiknya harga patokan gas dipasar internasional. Apalagi sekitar 30% sumber elpiji Pertamina masih bergantung dari impor. Hanya 70% yang berasal dari dalam negeri, itupun harus berbagi dengan produsen lain. Hal ini semakin diperparah oleh pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap US dollar, dari semula patokan kurs Rp 10.500/USD menjadi Rp 12.500/USD. Untuk kita ketahui bahwa harga patokan elpiji/harga keekonomian elpiji idealnya adalah biaya produksi gas (biaya pengadaan gas) ditambah ongkot angkut / biaya distribusi elpiji dari depot (beta). komponen biaya Produksi/Pengadaan Gas terdiri dari biaya pokok produksi (BPP) gas ditambah biaya kirim (freight cost) dan bea impor (jika sumber gas berasal dari impor), dan komponen ongkos angkut elpiji dari depot (beta) terdiri dari biaya depot, biaya transpor dari depot ke SPPBE, biaya filling elpiji, biaya transpor penyalur ke agen, margin agen, dan margin pertamina. Biaya Pengadaan gas sesuai sangat fluktuatif, tergantung harga komoditas dipasar internasional. Ini memberikan konsekuensi kalau harga elpiji internasional turun, maka harga elpiji di dalam negeri juga mesti turun, dan juga sebaliknya.  Untuk komponen biaya transpor elpiji dari depot (beta), tentunya setiap tahun akan cenderung naik. Hanya efisiensi dan efektifitas manajemen distribusi yang bisa menurunkan harga beta tersebut.
Kenaikan harga elpiji 12 kg ini juga telah disesuaikan dengan kemampuan daya beli konsumen, Karena konsumen yang menjadi pemakai elpiji tabung 12 kg adalah rata-rata kalangan menengah keatas, yang kurang elok atau kurang layak untuk mendapatkan subsidi harga dari pemerintah. Memang ini masih debatable yang mirip dengan perdebatan tentang layak atau tidaknya orang mampu menerima subsidi BBM dari pemerintah. Apalagi jika dihubungkan dengan multiflyer effect (efek domino) jangka pendek yang akan timbul. Juga pengaruh situasi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Karena terjadi perbedaan harga dengan elpiji bersubsidi 3 kg yang akan semakin besar, yang tentunya berpotensi menimbulkan praktik curang pemindahan elpiji dari tabung gas 3 kg ke tabung gas 12 kg serta akan membuat pengguna elpiji 12 kg beralih ke elpiji bersubsidi kemasan 3 kg. Kondisi ini akan berdampak pada peningkatan konsumsi elpiji 3 kg sehingga pemerintah harus menambah anggaran subsidi untuk elpiji 3 kg. Kondisi ini, menurut penulis, hanya akan berlangsung singkat. Ada kepentingan jangka panjanglah yang harus kita upayakan bagi kesejahteraan rakyat, seperti perlunya investasi lebih lanjut untuk menjaga kesinambungan penyediaan dan distribusi elpiji kepada seluruh masyarakat. Investasi ini penting karena Indonesia mempunyai sumber daya gas yang melimpah. Investasinya tidaklah kecil, namun dengan meminimalisir nilai kerugian yang ada, setidaknya akan merangsang berbagai pihak dan juga mendorong pertamina untuk menjamin kesinambungan dan ketersediaan elpiji dengan harga yang terjangkau di kemudian hari.
Disinilah titik urgensi-nya, agar seluruh stakeholder bisa bersama-sama mengambil langkah dan solusi jangka panjang untuk kesejahteraan rakyat yang lebih besar, bukan hanya saling menyalahkan untuk kepentingan jangka pendek pemilu. Pemerintah, DPR bersama Pertamina harus dengan tegas menyampaikan kepada masyarakat bahwa elpiji tabung 12 kg bukan merupakan barang yang disubsidi (non-subsidi), sehingga semua pihak bisa bijak dalam menyikapi kebijakan turunannya tersebut.

Perlu Percepatan Pembangunan infrastruktur gas bumi.

Indonesia memiliki Potensi sumber daya gas bumi (elpiji) yang besar. mulai dari Arun di Aceh, hingga Tangguh di Papua. Potensi ini harus bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Juga untuk menjaga ketahanan dan pengamanan energi masa depan. ketersediaan gas dimasa mendatang dengan harga terjangkau harusnya merupakan hal yang menjadi prioritas bagi seluruh stakeholder, baik itu untuk kebutuhan industri maupun kebutuhan rumah tangga. Secara sederhana, dalam lingkup yang lebih kecil adalah bagaimana memanfaatkan potensi gas yang ada untuk dapat disalurkan ke rumah-rumah masyarakat, agar persoalan elpiji seperti sekarang tidak terulang lagi dimasa mendatang. Akan sangat baik dan Sejahtera, jika nantinya setiap rumah di Indonesia bisa dialiri gas bumi layaknya listrik bagi masyarakat.
Pembangunan infrastruktur gas bumi adalah solusi jangka panjangnya. Kita punya sumber daya gas bumi yang besar namun belum bisa dimanfaatkan secara optimal untuk kebutuhan dalam negeri karena kurangnya infrastruktur untuk menyalurkan potensi gas bumi tersebut. Ini penting untuk direalisasikan untuk meningkatkan dan menjamin ketersediaan jumlah pasokan gas (gas supply) dan membuat harga gas menjadi lebih kompetitif, dalam upaya menopang Kebijakan Energi Nasional 2025, yang dilaksanakan melalui upaya konversi energi dari Bahan Bakar Minyak ke Gas Bumi.
Ada baiknya, jika uang yang harus dikeluarkan Pertamina untuk nombok selisih (kerugian) harga jual elpiji tabung 12 kg senilai sekitar 6,5 Triliun dapat digunakan untuk memulai investasi pembangunan dan memperkuat infrastruktur gas nasional. Mulai dari LNG, mini LNG, CNG laut, CNG darat, dan pembangunan Pipa Trans Indonesia termasuk Jawa dan Sumatera.
Sudah cukup kita belajar dari bencana BBM dimana subsidi yang harus ditanggung pemerintah setiap tahunnya yang sangat besar. Mari kita dorong Pemerintah dan DPR untuk mendukung pembangunan infrastruktur gas mulai saat ini agar tidak menjadi bom waktu dimasa mendatang, karena kalau tidak sekarang…mau kapan lagi

Comments

Popular Posts