Pages

Terpopuler

Terpopuler

Tuesday, March 11, 2014

Angkutan Batubara perlu solusi Jangka Panjang

Oleh : FERI YULIANSYAH, ST, MT

Ratusan sopir truk batubara kembali demo menyerbu kantor gubernur provinsi sumatera selatan, 15 januari 2013. sebuah aksi atas nama kepentingan hajat hidup masyarakat bawah (baca: sopir truk batubara) yang dibenturkan dengan pemerintah (dalam hal ini gubernur), yang pada intinya mendesak agar pemerintah tetap mengizinkan truk pengangkut batu bara menggunakan jalur lama menuju pelabuhan Tanjung Api Api, mengingat jalan khusus batubara yang dibangun oleh pt. servo meda sejahtera belum bisa dilalui truk angkutan batubara.

Pertambangan batubara pada prinsipnya mempunyai tujuan yang baik untuk mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan (sumber energi) nasional agar lebih mampu bersaing ditingkat nasional, regional dan internasional, yang pada aktifitasnya diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar besar kesejahteraan rakyat, dengan tetap mengedepankan wawasan lingkungan hidup (berdasar kutipan pasal 3 UU no.4/2009 tentang pertambangan mineral dan batubara)

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, kehadiran investor dibidang pertambangan batubara merupakan satu hal yang dinantikan, mengingat pertambangan batubara adalah industri padat modal (membutuhkan modal yang besar), mulai dari investasi lahan wilayah penambangan, peralatan tambang/alat berat, truk angkutan batubara, jalan tambang, pelabuhan, serta sarana dan prasarana penunjang kegiatan operasi produksi lainnya, selain tentunya kemampuan sumber daya manusia.Namun, dalam implementasinya, seringkali aktifitas pertambangan batubara memberikan ekses negatif bagi masyarakat, baik masyarakat yang tinggal sekitar lokasi tambang, maupun masyarakat lainnya yang (terpaksa dan/atau dipaksa) dilalui oleh truk angkutan batubara, sebagai akibat ketidaksiapan investor tambang dalam menyiapkan sarana pendukung industri (jalan hauling/jalan khusus untuk mengangkut batubara) untuk mengirimkan batubara ke pelabuhan setempat, dan hanya berupaya memanfaatkan sarana dan prasarana umum (jalan umum), yang memang tidak ditabukan dalam UU minerba. Seperti yang terjadi di Sumatera Selatan saat ini.

Ada banyak dampak negatif yang ditimbulkan sebagai akibat truk angkutan batubara yang melintas di jalan umum, yang coba saya rangkum berikut ini :Pertama, arus transportasi jalan dari lahat – palembang menjadi sangat padat yang dalam setiap saat bisa menyebabkan kemacetan lalu lintas. Hal ini tentunya sangat mengganggu arus jalan umum dan menyebabkan bertambahnya waktu tempuh perjalanan dari lahat ke palembang. Bagi masyarakat umum yang biasa menggunakan jalur lintas lahat – palembang dalam aktivitasnya, tentulah tidak asing bagi mereka melihat iring-iringan truk batubara yang kadangkala membuat kemacetan panjang dijalur tersebut hingga berjam-jam lamanya. Jalur lahat ke palembang yang semula bisa ditempuh dalam waktu 4 - 5 jam, kini harus ditempuh dengan waktu 6 – 8 jam. Bahkan bisa lebih lama lagi jika terjadi kemacetan atau kecelakaan.

Kedua, rusaknya infrastruktur jalan umum yang disebabkan karena seringnya truk angkutan batubara yang membawa beban melebihi kapasitas daya dukung jalan, yang dilakukan terus menerus. Beberapa ruas jalan harus segera mendapat perbaikan untuk kelancaran dan keselamatan. Begitu juga beberapa jembatan yang dilalui truk pengangkut batubara. Biaya yang akan dikeluarkan pemerintah (uang rakyat) yang digunakan untuk perbaikan infrastruktur jalan dan jembatan tersebut tentunya bukan jumlah yang sedikit, dan bahkan bisa melebihi pendapatan resmi (pajak&royalti) yang diterima oleh Negara dari sector pertambangan batubara di sumatera selatan.  

Ketiga, menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi. kemacetan lalu lintas dan kerusakan jalan secara langsung menyebabkan pengiriman dan arus lalu lintas barang menjadi terhambat yang berdampak pada timbulnya ekses biaya tambahan dalam aktifitas perekonomian masyarakat. Ke-empat, dampak sosial berupa kecelakaan lalu lintas, yang menyebabkan korban masyarakat luka-luka atau bahkan meninggal dunia. Terlepas dari faktor penyebab siapa yang salah dan menyebabkan terjadinya kecelakaan atau juga argumen bahwa kecelakaan lalu lintas bisa terjadi pada kendaraan apapun, namun berdasarkan data dan statistika, banyaknya operasional truk angkutan batubara di jalan umum meningkatkan jumlah kecelakaan lalu lintas pada masyarakat yang dilalui truk angkutan batubara. hal ini kadangkala menyebabkan anarkisme dari masyarakat, yang jika terus terjadi, cepat atau lambat akan memicu terjadinya anarkisme masyarakat secara massif terhadap truk angkutan batubara.

Yang kelima, yang tidak bisa dipungkiri juga, truk angkutan batubara menyebabkan konsumsi solar BBM subsidi melonjak tinggi, yang pada gilirannya mengambil jatah BBM subsdi bagi masyarakat umum, hingga menyebabkan antrian panjang dan kehabisan BBM subsidi. Harusnya, karena angkutan batubara merupakan bagian dari operasi produksi industri batubara, dan harga jual batubara mengikuti harga industri, dan tentunya yang namanya industri sudah seharusnya menggunakan BBM industri (non subsidi). Bisa dihitung jumlah kerugian negara akibat penggunaan BBM subsidi oleh truk angkutan batubara jika terdapat sekurang-kurangnya 5000 truk angkutan batubara yang rata-rata mengkonsumsi solar subsidi 100 liter per hari, jika harga BBM industri rata-rata sekitar Rp 9.500 per liter (selisih harga Rp 5.000 per liter), berarti kerugian yang ditanggung oleh negara rata-rata Rp 2,5 Milyar setiap harinya. Belum lagi dampak antrian mengisi BBM di SPBU yang panjang antriannya bisa mencapai 1 KM. Pertanyaannya, apakah hal ini harus terjadi terus menerus? siapa yang terkena dampak langsung operasional truk angkutan batubara dijalan umum? Tentunya masyarakat umum dan keuangan Negara yang dirugikan.

Monday, March 10, 2014

Kenaikan Harga Elpiji, untuk kesejahteraan rakyat yang lebih besar

Oleh : FERI YULIANSYAH, ST, MT
Pemerhati bidang Energi dan Sumber Daya Mineral.
  
Setelah mendapat desakan dari berbagai pihak, akhirnya Pemerintah RI, melalui PT. Pertamina (Persero) menurunkan nominal kenaikan harga elpiji tabung 12 kg. Semula naik Rp 3.950 per kg, namun Mulai Pukul 00.00 WIB, 7 januari 2014, kenaikan hanya Rp 1.000 per kg. Kebijakan yang seolah memihak rakyat namun masih akan menyisakan cerita pro-kontra pada episode selanjutnya dimasa mendatang.
 
Mengapa akan terjadi pro-kontra dimasa mendatang? Karena memang solusi yang diambil saat ini hanya solusi jangka pendek. Apalagi saat ini menjelang pemilu 2014, yang mana semua pun bisa memahami jika isu sekecil apapun akan sangat sensitif dan akan dengan mudah dipolitisasi untuk kepentingan tertentu atas nama rakyat. Dari yang semula naik Rp 3.950 per kg atau naik sekitar 68% dari harga semula yang Rp 5.850 per kg, kemudian direvisi hanya naik Rp 1.000 per kg atau sekitar 17%.  Pertanyaannya, apakah permasalahan akan selesai sampai disini? Tentu saja tidak. Ada baiknya kita mencoba merunut akar permasalahan ini dari awal, mengapa elpiji tabung 12 kg harus naik.
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 26 tahun 2009 tentang penyediaan dan pendistribusian Elpiji, dijelaskan bahwa terdapat dua jenis pengguna Elpiji yaitu pengguna elpiji tertentu (subsidi) adalah pengguna elpiji kemasan tabung 3 kg yang harganya diatur dan ditetapkan Menteri/pemerintah, dan pengguna elpiji umum (non-subsidi) yaitu elpiji tabung 12 kg, 50 Kg, dan elpiji curah yang harganya ditetapkan sendiri oleh badan usaha yang bersangkutan, dalam hal ini Pertamina, sesuai mekanisme pasar, dengan berpedoman pada harga patokan elpiji, kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, kesinambungan penyediaan dan distribusi elpiji. Mengingat 100% saham Pertamina adalah milik pemerintah, maka setiap aksi korporasi baik menyangkut perubahan harga atau kebijakan lainnya harus meminta persetujuan pemerintah selaku pemegang saham mayoritas. Namun demikian, yang patut menjadi catatan disini bahwa perlakuan kebijakan harga elpiji tabung 3 kg dan tabung 12 kg merupakan satu hal yang berbeda. Pada elpiji tabung 12 kg, pemerintah tidak mengeluarkan uang sepeserpun (subsidi) untuk menutupi selisih harga terjadi. Maka seluruh kebijakan harga menyangkut elpiji tabung 12 kg, tabung 50 kg, dan elpiji curah sepenuhnya diserahkan kepada Pertamina sebagai Badan Usaha, dimana Pertamina pun dituntut untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya (sebagai pemasukan bagi pemerintah melalui deviden) bagi kesejahteraan rakyat.
Selanjutnya, tidak dapat dipungkiri faktor utama yang mendesak Pertamina untuk menaikan harga elpiji tabung 12 kg, adalah sebagai tindak lanjut atas rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang menyebutkan bahwa kerugian bisnis elpiji non-subsidi pada tahun 2011 hingga 2012 sebesar Rp 7,7 triliun sebagai kerugian negara. Rekomendasi itu tidak hanya sekali, tapi berkali-kali, dalam kurun waktu 2009 sampai dengan tahun 2013, karena kerugian yang terus berlanjut. Pada tahun terakhir 2013, Pertamina mengalami kerugian dalam penjualan gas 12 Kg  ini sebesar 5,7 triliun. Jika diakumulasikan dari tahun  2009 sampai 2013 ini Pertamina mengalami kerugian sekitar 22 triliun. Dapat dibayangkan, bagaimana rasanya jika lembaga negara atau Badan Usaha Milik Negara mendapat catatan “Merugikan Negara” dari BPK. Apalagi total nominal tidaklah kecil, 22 triliun dalam kurun waktu 5 tahun. kata Merugikan Negara adalah bahasa hukum yang bisa disamakan dengan Korupsi. Menakutkan tentunya. Terutama bagi pejabat Negara atau BUMN yang diberikan rekomendasi “Merugikan Negara” oleh BPK. Bisa dibayangkan, pejabat yang belum ditemukan kesalahannya oleh BPK saja bisa grogi jika diperiksa. Apalagi ini telah jelas-jelas ditemukan kesalahannya? Sudah diperingatkan 4 tahun berturut-turut dan dikatakan Merugikan negara?
Untuk menjawab rekomendasi BPK dan juga mencegah permasalahan hukum yang akan terjadi dikemudian hari (karena bisa saja sewaktu-waktu rekomendasi ini dibawa kepada penegak hukum, seperti Kejaksaan dan KPK). Tentunya tidak ada pilihan lain bagi Pertamina untuk mengikuti rekomendasi tersebut dengan menaikan harga elpiji 12 kg sesuai harga keekonomiannya, karena tidak ada satu pun payung hukum yang membolehkan pertamina menjual elpiji tabung 12 kg dibawah harga keekonomian. Karena elpiji tabung 12 kg bukanlah barang yang disubsidi oleh pemerintah. Jadi sangatlah wajar jika BPK menyalahkan pertamina atas kerugian Negara tersebut sebagai tindakan melawan hukum.
Sebagai catatan, saat ini, harga keekonomian elpiji adalah Rp 12.500 per kg, sementara harga jual elpiji non-subsidi kemasan 12 kg hanya Rp 5.850 per kg. Dalam hal ini, pertamina menanggung selisih antara harga keekonomian dan harga jual elpiji, sebelum kenaikan harga, mencapai Rp 6.650 per kg. Ini berarti Pertamina nombok harga kepada konsumen elpiji non subsidi. Nilai kerugian penjualan per kg itu belum termasuk ongkos angkut operasi elpiji dari terminal elpiji Pertamina (depot) ke instalasi pengisian ulang elpiji hingga didistribusikan kepada agen penjual elpiji. Ongkos angkut saat ini rata-rata sekitar Rp 900 per kg. Hal ini mengakibatkan Pertamina harus menanggung kerugian penjualan elpiji nonsubsidi 12 kg hingga triliun rupiah. Padahal elpiji ini tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah, yang jika kita menilik penggunanya memang banyak digunakan kelompok rumah tangga mampu dan untuk kegiatan usaha. Hal ini harus disadari oleh pengguna elpiji tabung 12 kg bahwa memang cepat atau lambat, kita harus menerima mecoba menerima kenaikan harga elpiji ini sesuai harga keekonomiannya. Tentunya akan terus ada kenaikan elpiji pada episode selanjutnya. Ini seiring dengan naiknya harga patokan elpiji setiap tahunnya seiring naiknya harga patokan gas dipasar internasional. Apalagi sekitar 30% sumber elpiji Pertamina masih bergantung dari impor. Hanya 70% yang berasal dari dalam negeri, itupun harus berbagi dengan produsen lain. Hal ini semakin diperparah oleh pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap US dollar, dari semula patokan kurs Rp 10.500/USD menjadi Rp 12.500/USD. Untuk kita ketahui bahwa harga patokan elpiji/harga keekonomian elpiji idealnya adalah biaya produksi gas (biaya pengadaan gas) ditambah ongkot angkut / biaya distribusi elpiji dari depot (beta). komponen biaya Produksi/Pengadaan Gas terdiri dari biaya pokok produksi (BPP) gas ditambah biaya kirim (freight cost) dan bea impor (jika sumber gas berasal dari impor), dan komponen ongkos angkut elpiji dari depot (beta) terdiri dari biaya depot, biaya transpor dari depot ke SPPBE, biaya filling elpiji, biaya transpor penyalur ke agen, margin agen, dan margin pertamina. Biaya Pengadaan gas sesuai sangat fluktuatif, tergantung harga komoditas dipasar internasional. Ini memberikan konsekuensi kalau harga elpiji internasional turun, maka harga elpiji di dalam negeri juga mesti turun, dan juga sebaliknya.  Untuk komponen biaya transpor elpiji dari depot (beta), tentunya setiap tahun akan cenderung naik. Hanya efisiensi dan efektifitas manajemen distribusi yang bisa menurunkan harga beta tersebut.
Kenaikan harga elpiji 12 kg ini juga telah disesuaikan dengan kemampuan daya beli konsumen, Karena konsumen yang menjadi pemakai elpiji tabung 12 kg adalah rata-rata kalangan menengah keatas, yang kurang elok atau kurang layak untuk mendapatkan subsidi harga dari pemerintah. Memang ini masih debatable yang mirip dengan perdebatan tentang layak atau tidaknya orang mampu menerima subsidi BBM dari pemerintah. Apalagi jika dihubungkan dengan multiflyer effect (efek domino) jangka pendek yang akan timbul. Juga pengaruh situasi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Karena terjadi perbedaan harga dengan elpiji bersubsidi 3 kg yang akan semakin besar, yang tentunya berpotensi menimbulkan praktik curang pemindahan elpiji dari tabung gas 3 kg ke tabung gas 12 kg serta akan membuat pengguna elpiji 12 kg beralih ke elpiji bersubsidi kemasan 3 kg. Kondisi ini akan berdampak pada peningkatan konsumsi elpiji 3 kg sehingga pemerintah harus menambah anggaran subsidi untuk elpiji 3 kg. Kondisi ini, menurut penulis, hanya akan berlangsung singkat. Ada kepentingan jangka panjanglah yang harus kita upayakan bagi kesejahteraan rakyat, seperti perlunya investasi lebih lanjut untuk menjaga kesinambungan penyediaan dan distribusi elpiji kepada seluruh masyarakat. Investasi ini penting karena Indonesia mempunyai sumber daya gas yang melimpah. Investasinya tidaklah kecil, namun dengan meminimalisir nilai kerugian yang ada, setidaknya akan merangsang berbagai pihak dan juga mendorong pertamina untuk menjamin kesinambungan dan ketersediaan elpiji dengan harga yang terjangkau di kemudian hari.
Disinilah titik urgensi-nya, agar seluruh stakeholder bisa bersama-sama mengambil langkah dan solusi jangka panjang untuk kesejahteraan rakyat yang lebih besar, bukan hanya saling menyalahkan untuk kepentingan jangka pendek pemilu. Pemerintah, DPR bersama Pertamina harus dengan tegas menyampaikan kepada masyarakat bahwa elpiji tabung 12 kg bukan merupakan barang yang disubsidi (non-subsidi), sehingga semua pihak bisa bijak dalam menyikapi kebijakan turunannya tersebut.

Perlu Percepatan Pembangunan infrastruktur gas bumi.

Indonesia memiliki Potensi sumber daya gas bumi (elpiji) yang besar. mulai dari Arun di Aceh, hingga Tangguh di Papua. Potensi ini harus bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Juga untuk menjaga ketahanan dan pengamanan energi masa depan. ketersediaan gas dimasa mendatang dengan harga terjangkau harusnya merupakan hal yang menjadi prioritas bagi seluruh stakeholder, baik itu untuk kebutuhan industri maupun kebutuhan rumah tangga. Secara sederhana, dalam lingkup yang lebih kecil adalah bagaimana memanfaatkan potensi gas yang ada untuk dapat disalurkan ke rumah-rumah masyarakat, agar persoalan elpiji seperti sekarang tidak terulang lagi dimasa mendatang. Akan sangat baik dan Sejahtera, jika nantinya setiap rumah di Indonesia bisa dialiri gas bumi layaknya listrik bagi masyarakat.
Pembangunan infrastruktur gas bumi adalah solusi jangka panjangnya. Kita punya sumber daya gas bumi yang besar namun belum bisa dimanfaatkan secara optimal untuk kebutuhan dalam negeri karena kurangnya infrastruktur untuk menyalurkan potensi gas bumi tersebut. Ini penting untuk direalisasikan untuk meningkatkan dan menjamin ketersediaan jumlah pasokan gas (gas supply) dan membuat harga gas menjadi lebih kompetitif, dalam upaya menopang Kebijakan Energi Nasional 2025, yang dilaksanakan melalui upaya konversi energi dari Bahan Bakar Minyak ke Gas Bumi.
Ada baiknya, jika uang yang harus dikeluarkan Pertamina untuk nombok selisih (kerugian) harga jual elpiji tabung 12 kg senilai sekitar 6,5 Triliun dapat digunakan untuk memulai investasi pembangunan dan memperkuat infrastruktur gas nasional. Mulai dari LNG, mini LNG, CNG laut, CNG darat, dan pembangunan Pipa Trans Indonesia termasuk Jawa dan Sumatera.
Sudah cukup kita belajar dari bencana BBM dimana subsidi yang harus ditanggung pemerintah setiap tahunnya yang sangat besar. Mari kita dorong Pemerintah dan DPR untuk mendukung pembangunan infrastruktur gas mulai saat ini agar tidak menjadi bom waktu dimasa mendatang, karena kalau tidak sekarang…mau kapan lagi

Mengkaji Kebijakan Open Access, Demi Kemaslahan Bersama

Oleh : FERI YULIANSYAH, ST, MT

Lagi, Rencana pemerintah untuk melaksanakan aturan pemisahan fungsi transporter dan trader (unbundling) serta Pemanfaatan bersama (open access) pipa pada bisnis gas bumi kembali tertunda. Hal ini karena mendapat penolakan dari berbagai pihak, karena dicurigai hanya menguntungkan segelintir kelompok dan kepentingan tertentu (trader & broker gas), dan mengancam peran strategis PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). Kebijakan ini juga dinilai mengancam kelangsungan pembangunan infrastruktur gas bumi di Indonesia dan berisiko menaikkan harga.


Untuk kesekian kalinya, rencana pemerintah untuk melaksanakan ketentuan Peraturan Menteri ESDM No. 19 tahun 2009 tentang kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa, pada 1 November 2013, guna meningkatkan pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri dengan melakukan kebijakan unbundling dan open access pipa pada bisnis gas bumi harus kembali tertunda, karena masih terjadi pro dan kontra pada rencana pelaksanaan peraturan tersebut. Perdebatan mengenai Pro dan kontra mengenai penerapan kebijakan open access infrastruktur pipa gas nasional kembali menguat dalam beberapa hari yang lalu, walaupun sebetulnya sudah sejak lama terjadi dan kemarin menguat kembali karena mendekati deadline yang ditetapkan. 
Bagi yang setuju, kebijakan unbundling dan open access  diyakini akan meningkatkan dan menjamin ketersediaan jumlah pasokan gas (gas supply) dan membuat harga gas menjadi lebih kompetitif, dalam upaya menopang Kebijakan Energi Nasional 2025, yang dilaksanakan melalui upaya konversi energi dari Bahan Bakar Minyak ke Gas Bumi. Bagi yang kontra, kebijakan ini dinilai akan mengebiri dan mengancam peran strategis PGN dalam bisnis gas dan hanya menguntungkan segelintir pihak, terutama broker gas, yang dikhawatirkan akan berdampak negatif dan menggangu kelangsungan pembangunan infrastruktur gas bumi di Indonesia. Kebijakan ini juga dianggap berisiko terhadap kenaikan harga gas pada end user. Jika perseturuan ini awalnya lebih kental beraroma persaingan antara dua perusahaan energi plat merah yaitu PGN & Pertamina - dimana PGN sebagai pihak yang menolak keras kebijakan ini sementara pertamina mendukung, saat ini pro dan kontra telah melibatkan entitas publik yang lebih luas. Mungkin Sebagian masyarakat masih bertanya-tanya dan heran, mengapa perdebatan pro dan kontra dua saudara sekandung (baca : sama-sama BUMN) dalam kebijakan ini semakin berlarut, dan malah meluas melibatkan berbagai entitas publik lainnya. Dalam hal ini, penulis mencoba merangkum permasalahan tersebut dalam beberapa catatan berikut :

Monday, October 15, 2012

Gambut Untuk Listrik




Potensi lahan gambut di Indonesia sangat menjanjikan. Ke-empat terbesar di dunia setelah Kanada, Rusia dan Amerika Serikat. Hampir sepertiganya bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi.
Potensi Gambut Indonesia
Meski Indonesia masuk nomor 4 dunia, daerah berpotensi gambut, namun awalnya, para pakar dari Eropa, justru mengungkapkan bahwa gambut tidak akan ditemukan di daerah tropis seperti Indonesia, karena temperaturnya yang tinggi, sehingga bahan organis dari tumbuhan akan cepat terdekomposisi oleh jasad renik dan tidak terlonggok di daerah beriklim panas.

Meningkatkan Kualitas Batubara Kalori Rendah Dengan Teknologi Upgraded Brown Coal (UBC)

Upgraded Brown Coal (UBC) merupakan proses peningkatan nilai kalori batubara kalori rendah melalui penurunan kadar air lembab dalam batubara. Air yang terkandung dalam batubara terdiri dari air bebas (free moisture) dan air lembab (inherent moisture).
Air bebas adalah air yang terikat secara mekanik dengan batubara pada permukaan dalam rekahan atau kapiler yang mempunyai tekanan uap normal. Adapun air lembab adalah air terikat secara fisik pada struktur pori-pori bagian dalam batubara dan mempunyai tekanan uap yang lebih rendah daripada tekanan normal.Kandungan air dalam batubara baik air bebas maupun air lembab merupakan faktor yang merugikan karena memberikan pengaruh yang negatif terhadap proses pembakarannya. Penurunan kadar air dalam batubara, dapat dilakukan dengan cara mekanik atau perlakuan panas. Pengeringan cara mekanik efektif untuk mengurangi kadar air bebas dalam batubara basah, sedangkan penurunan kadar air lembab harus dilakukan dengan cara pemanasan atau penguapan.